Kamis, 02 Juni 2016

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM



A.           Hakikat Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa. Oleh karena begitu pentingnya fungsi dan peran kurikulum, maka setiap pengembangan kurikulum pada jenjang mana pun harus didasarkan pada asas-asas tertentu.
Fungsi asas atau landasan pengembangkan kurikulum adalah seperti fondasi sebuah bangunan. Apa yang akan terjadi seandainya sebuah gedung yang menjulang tinggi berdiri diatas fondasi yang rapuh? Ya, tentu saja bangunan itu tidak akan tahan lama. Oleh sebab itu, sebelum sebuah gedung dibangun, terlebih dahulu disusun fondasi yang kukuh. Semakin kukuh fondasi sebuah gedung, maka akan semakin kukuh pula gedung tersebut.[1]
Layaknya membangun sebuah gedung, maka menyusun sebuah kurikulum juga harus didasarkan pada fondasi yang kuat. Kesalahan menentukan dan menyusun fondasi kurikulum berarti kesalahan dalam menentukan kebijakan dan implementasi pendidikan. Apa yang akan terjadi seandainya terdapat kekeliruan dalam menentukan kebijakan dan mengimplementasikan sistem pendidikan?
Pengembangan kurikulum pada hakikatnya adalah proses penyusunan tentag isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana cara mempelajarinya. Namun demikian, persoalan mengembangkan isi dan bahan pelajaran serta bagaimana cara belajar siswa bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai ; sedangakan menentukan tujuan erat kaitannya dengan persoalan sistem  nilai dan kebutuhan masyarakat. Persoalan ini lah yang kemudian membawa kita pada persoalan menentukan hal-hal yang mendasar dalam proses pengembangan kurikulum yang kemudian kita namakan asas-asas atau landasan pengembangan kurikulum.
Sebelum kita membahas tentang asas-asas pengembangan kurikulum yang akan kita kupas pada bahasan selanjutnya, pada bagian ini kita akan mempelajari hakikat pengembangan kurikulum itu sendiri. Hal ini sangat penting, sebab pemahaman akan hakikat pengembangan akan membawa pada pemahaman bagaimana seharusnya proses pengembangan dilakukan.
Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus menerus. Rangkaian kegiatan itu digambarkan seller seperti pada gambar 2.1.[2]

                                           orientasi
 

Evaluasi                         Pengembangan


               Implementasi                              
Gambar 2.1 Siklus Pengembangan kurikulum
Seller memandang bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai dari menetukan orientasi kurikulum, yakni kebijakan-kebijakan umum, misalnya arah dan tujuan pendidikan, pandangan tentang hakikat belajar dan hakikat anak didik, pandangan tentang keberhasilan inplementasi kurikulum, dan lain sebagainya. Berdasarkan orientasi itu selanjutnya dikembangkan kurikulum menjadi pedoman pembelajaran, diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan dievaluasi. Hasil evaluasi itulah kemudian dijadikan bahan dalam menentukan orientasi, begitu seterusnya, sehingga membentuk siklus.
Orientasi pengembangan kurikulum menurut Seller menyangkut enam aspek, yaitu :
1.         Tujuan pendidikan menyangkut arah kegiatan pendidikan. Artinya, hendak dibawa kemana siswa yang kita didik itu.
2.         Pandangan tentang anak: apakah anak dianggap sebagai organisme yang aktif atau pasif.
3.         Pandangan tentang proses pembelajaran: apakah proses pembelajaran itu dianggap sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan atau mengubah prilaku anak.
4.         Pandangan tentang lingkungan: apakah lingkungan belajar harus dikelola secara formal, atau secara bebas yang dapat memungkinkan anak bebas belajar.
5.         Konsepsi tentang peranan guru: apakah guru harus berperan sebagai instruktur yang bersifat otoriter, atau guru dianggap sebagai fasilitator yang siap memberi bimbingan dan bantuan pada anak untuk belajar.
6.         Evaluasi belajar: apakah mengukur keberhasilan ditentukan dengan tes atau nontes.
Pengembangan kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yaitu sisi kurikulum sebagai pedoman yang kemudian membentuk kurikulum tertulis (writen curriculum atau ducument curriculum) dan sisi kurikulum sebagai implementasi (curriculum implementation) yang tidak lain adalah sistem pembelajaran.[3]
Selanjutnya, apa saja yang harus diperhatikan dalam proses pengembangan kurikulum? Yang sangat penting untuk dipertimbangkan  dalam pengembangan kurikulum adalah isi atau muatan kurikulum itu sendiri. Ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan isi pengembangan kurikulum, yaitu rentangan kegiatan, tujuan kelembagaan yang berhubungan dengan misi dan visi sekolah.
1.             Rentangan kegiatan (Range of Activity)
Pengembangan isi kurikulum biasanya diawali dengan rancangan kebijakan kurikulum, rancangan bidang studi, program pangajaran,unit pengajaran, dan rencana pembelajaran. Kebijakan kurikulum merupakan otoritas pemegang kebijakan pendidikan. Kebijakan kurikulum memuat tentang apa yang harus diajarkan dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pengembang kurikulum lebih lanjut. Kebijakan kurikulumpada dasarnya merupakan keputusan yang ditentukan dari hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.  Menentukan kebijakan kurikulum harus dilaksanakan secara hati-hati, sebab akan memengaruhi berbagai kebijakan pendidikan lainnya. Misalnya, mengenai isi dari setiap disiplin ilmu yang perlu dikuasai oleh anak didik dalam jenjang tertentu, kebutuhan sosial macam apa yang harus dikuasai anak didik serta pengalaman belajar yang bagaimana yang harus dimiliki anak didik. Hal ini tentu saja didasarkan pada pengkajian yang komprehensif.
Rancangan program studi meliputi kegiatan-kegiatan menentukan tujuan, urutan serta kedalaman materi dalam setiap bidang studi, misalnya rancangan bidang studi matematika, bahasa, ipa, dan lain sebagainya.
Rancangan program pengajaran adalah kegiatan merancang aktivitas belajar dalam setiap bidang studi untuk satu tahun, satu semester atau  satu caturwulan. Program pengajaran tersebut selanjutnya dijabarkan pada rencana pembelajaran, yang dirancang lebih khusus untuk jangka waktu tertentu. Bisa jadi program yang lebih khusus itu adalah program pembelajaran untuk satu kali pertemuan dalam proses pembelajaran.[4]
Seperti McNeil, Nasution (1989), juga mengemukakan bahwa kegiataan pengembangan kurikulum meliputi dua proses utama, yakni pengembangan pedoman kurikulumdan pengembangan pedoman instruksional. Pedoman kurikulum berisi tentang rumusan-rumusan normatif tentang isi kurikulum. Misaknya, tentang latar belakang yang berisi tentang tujuan dan landasan filosofis, sasaran peserta didik, bidang studi, struktur bahan pelajaran beserta silabusnyya; sedangkan pedoman instruksional berisi tentang penjabaran lebih rinci dari pedoman kurikulum untuk pengelolaan pembelajaran. Dengan demikian, pedoman instruksional disusun oleh guru sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pembelajaran, atau sebagai pedoman implementasi kurikulum.

2.             Tujuan kelembagaan (Institusional Purpose)
Tujuan kelembagaan sama artinya dengan visi misi sekolah. Pengembangan kurikulum selamanya harus sejalan dengan visi dan misi sekolah yang bersangkutan, karena kurikulum pada hakikatnya disusun untuk mencapai tujuan sekolah.
Setiap jenis sekolah akan memiliki visi dan misi yang berbeda. Jenis sekolah kejuruan, misalnya akan berbeda dengan seolah umum. Sekolah kejuruan yang memiliki visi dan misi untuk mempersiapkan anak didik memiliki keterampilan sesuai dengan lapangan pekerjaan tertentu, maka mengembangkan isi kurikulum akan lebih tepat dilakukan melalui analisis pekerjaaan  (job analysis), bukan melalui analisis disiplin ilmu. Sebalinya sekolah yang memiliki visi dan misi untuk mempersiapkan anak didik dapat mengikuti pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi, maka analisis disiplin ilmu, seperti pemahaman fakta, konsep, teori dan sebagainya akan lebih cocok dibandingkan dengan penentuan isi kurikulum melalui analisis tugas atau analisis pekerjaan. Dengan demikian, visi dan misi sekolah harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan isi kurikulum. Sehingga, pengalaman belajar yang dilakukan siswa disekolah, akan menjamin pencapaian tujuan sekolah yang bersangkutan.[5]
Pengembangan landasan kurikulum terdiri atas tiga sumber yakni :
1.        Studi tentang hakikat dan nilai ilmu pengetahuan ( studies of the nature and value of knowledge ) sebagai aspek filosofis.
2.        Studi tengtang kehidupan ( studies of life ) sebagai aspek sosial-budaya.
3.        Studi tentang siswa dan teori-teori belajar ( studies of learners and learning theory ) sebagai aspek psikologis.

Sosiology and culture
psychology
philosophy
                                   
Curriculum developers
Conceptions of  curriculum
curriculum
 





Gambar 2.2 peran Landasan Kurikulum menurut Lawton[6]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa peran landasan dalam pengembangan adalah sebagai berikut ;
1.         Pengembang kurikulum pertama kali harus memiliki pandanganyang jelas tentang hakikat ilmu pengetahuan dan hakikat nilai ( sebagai landasan filosofis ).
2.         Pandangan filosofis tersebut kemudian disusun dalam konteks pemahaman pengembang kurikulum tentang masyarakat dan kebudayaannya serta kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang ( landasan sosiologis dan budaya )
3.         Aspek psikologis yakni hakikat siswa dan bagaimana mereka belajar akan berkontribusi dalam membangun suatu kurikulum ( landasan psikologi )
4.         Secara keseluruhan ketiga landasan tersebut akan menjadi sumber bagi pengembang dalam menentukan keputusan tentang kurikulum yang akan disusun.
5.         Berdasarkan keputusan, selanjutnya para pengembang dapat menentukan keputusan tentang tugas-tugas kurikulum.
6.         Ketika sumber-sumber yang menjadi landasan kurikulum dan konsep kurikulum telah menghasilkan isi kurikulum itu sendiri, maka selanjutnya kita dapat menentukan bagaimana hasil akhir kurikulum yang dibutuhkan.
B.            Landasan Pengembangan Kurikulum
Ada 2 landasan pengembangan kurikulum yakni landasan filosofis dan landasan psikologis. Kedua landasan tersebut diuraikan di bawah ini.
1.             Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum
Filsafat berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia” . Philos artinya cinta yang mendalam, dan sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secra populer filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Sebagai landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa kemana siswa yang kita didik itu. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.[7]


a.             Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Hummel (1977), mengemukakan ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan :
1.        Autonomy artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
2.        Equity artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi.
3.        Survival artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi harus juga memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antara manusia.
Pengembangan ketiga aspek itu diarahkan agar kehidupan manusia lebih baik, lebih bermakna, bertanggung jawab, lebih bermartabat dan lebih beradap, sehingga pada gilirannya setiap manusia terdidik dapat mempertahankan, mengembangkan, bahkan kalau perlu dapat mengubah kebudayaan yang dianggapnya tidak relevan dengan pandang hidup atau nilai-nilai yang dimilikinya.[8]
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakatnya sendiri, oleh sebab itu dalam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai masyarakat.
Sistem nilai bangsa amerika, misalnya adalah leberalis-demokratis, maka dengan demikian tujuan pendidikan di Amerika adalah membentuk manusia yang liberalis-demokratis. Kemudian, bagaimana dengan sistem nilai dicina atau negara-negara timur tengah, seperti arab saudi, irak, atau Iran? Ya setiap bangsa memiliki sistem nilai masing-masing dan sistem nilai itu yang biasanya mencerminkan tujuan pendidikan.
Nilai – nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti pancasila bagi bangsa indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi kurikulum yang berlaku, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta merembes kedalam praktik pendidikan oleh guru didalam kelas. Dalam melaksanakan kegiatan serta pengambilan berbagai keputusan guru haruslah mencerminkan nilai-nilai itu. Itulah sebabnya, walaupun setiap guru dapat saja memilki norma atau sistem nilai yang dianggap baik, akan tetapi nilai-nilai itu jangan sampai bertentangan dengan norma-norma masyarakat, yaitu pancasila.

b.             Filsafat sebagai proses berfikir
Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir, namun, apakah setiap berpikir dapat dikatakan filsafat? Tentu tidak. Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Sidi Gazalba, seperti dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai berpikir yang radikal, sistematis, dan universal. Berpikir yang radikal ( Radical thinking ), yaitu berpiir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung jawab, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir itu tidak separuh-paruh, tidak berhenti dijalan tetapi terus sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir universal, artinya tidak berpikir secara khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencangkup keseluruhan secara sistematis dan logis sampai keakar-akarnya. Orang yang filsafat adalah orang yang berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.[9]
Pandangan tentang hakikat kebenaran tenyata berbeda-beda. Menurut Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu :
·                Aliran idealisme memandang, bahwa kebenaran itudatangnya dari “yang maha kuasa”.manusia tidak dapat melihatya secara lengkap apalagi menciptakannya.
·                Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum—hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya.
·                Aliran pragmatisme berpendapat bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia dengan manusia lainya.
·                Aliran eksistensialis mengakui, bahwa sebagai individu setiap manusia kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki   dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukan sendirinya.
Pandangan yang berbeda setiap aliran filsafat terdapat cabang-cabang filsafat yang menjadi objek pembahasannya dapat memengaruhi isi dan strategi kurikulum. Kurikulum yang cenderung bersifat idealis akan berbeda dengan kurikulum yang berorientasi kepada aliran realis, pragmatis dan ekstensialis, demikian juga sebaliknya. Namun demikian, untuk setiap pengembang kurikulum tidak perlu fanatik dengan satu aliran saja. Bisa saja kurikulum yang dihasilkan merupakan gabungan dari setiap aliran itu. Sebagai contoh, kurikulum yang bermuatan pendidikan moral atau pendidikan agama, bisa saja berorientasi kepada aliran idealis; namun untuk kurikulum yang bermuatan natural science cenderung kearah aliran filsafat realisme.
2.             Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam mengantar anak didik sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan. Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dengan alas an itulah, kurikulum harus memerhatikan kondisi psikologi perkembangan dan psikologi belajar anak.
     Pemahaman tentang anak bagi seorang pengembang kurikulum sangatlah penting. Kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan.[10]


a.             Psikologi Perkembangan Anak
Salah satu hal yang perlu diketahui tentang anak, adalah masa-masa perkembangan mereka. Pentingnya pemahaman tentang masa perkembangan ini disebabkan beberapa alasan. Pertama, setiap anak didik memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu. Pada setiap tahapan itu anak memiliki karakteristik dan tugas-tugas perkembangan tertentu. Seandainya tugas-tugas perkembangan itu tidak terpenuhi, maka akan mengalami hambatan pada tahapan berikutnya. Kedua, anak didik yang sedang pada masa perkembangan merupakan periode yang sangat menentukan keberhasilan dan kesuksesan hidup mereka. Pada masa itu anak berada pada periode perkembangan yang sangat cepat dalam berbagai aspek perkembangan. Ketiga, pemahaman akan perkembangan anak, akan memudahkan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan, baik yang menyangkut proses pemberian bantuan memecahan masalah yang dihadapi, maupun dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan.[11]
Untuk memahami perkembangan siswa, teori yang banyak digunakan adalah seperti yang dikemukakan oleh Piaget yang terkenal dengan teori perkembangan kognmitif. Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarahkan dan membimbing perilaku anak. Ada dua konsep yang perlu diketahui untuk memahami  teori  perkembngan kognitif dari Piaget, yaitu konsep tentang fungsi dan konsep tentang struktur. Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama untuk setiap orang. Tujuannya untuk menyusun struktur kognitif internal. Melalui fungsi akan terjadi kecenderungan-kecenderungan biologis untuk mengorganisasi  pengetahuan ke dalam struktur kognisi, dan untuk beradaptasi kepada berbagai tantangan yang datang dari luar(lingkungannya). Sedangkan , struktur merupakan seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang digunakan untuk memahami lingkungan. Piaget berpendapat bahwa dalam memahami lingkungan itu anak bersifat aktif. Artinya , pengetahuan itu dibentuk dan diciptakan sendiri. Anak tidak menerima pengetahuan secara pasif dari lingkungannya.
Menurut Piaget,  perkembangan intelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan perkembangan kognitif itu, menurut Piaget terdiri dari 4 fase, yaitu:
1)             Sensorimotor (0-2 tahun)
Pada fase sensorimotor yang berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun, kemampuan kognitif anak masih sangat terbatas. Piaget mengistilahkannya dengan kemampuan yang bersifat primitif, artinya masih didasarkan kepada perilaku yang terbuka. Kemampuan kognitif atau intelegensi  yang dimiliki anak pada masa ini merupakan intelegensi dasar yang amat berarti  untuk perkembangan kognitif selanjutnya.[12]
Intelegensi sensorimotor dinamakan intelegensi praktis, karena pada masa ini anak hanya belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar bagaimana menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia lakukan kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatannya itu.
Kemampuan anak dalam berbahasa pada masa ini belum muncul. Interaksi dengan lingkungan dilakukan melalui gerakan-gerakan, menyentuh, bergerak, dan sebagainya. Segala yang dilakukan anak dengan gerakan-gerakan tubuhnya itu merupakan suatu eksperimen terhadap lingkungannya. Melalui proses interaksi dengan lingkungan,  lambat laun anak akan belajar tentang bagaimana menguasai lingkungannya secara lebih baik.
Sesuai dengan perkembangannya dalam proses interaksi dengan lingkungan anak akan menghadapi tantangan-tantangan untuk menerima informasi-informasi dari luar, kemudian menyusun informasi  sehingga manakala ia akan berinteraksi dengan lingkungan, dan menggunakan informasi itu. Demikian terus-menerus, sehingga akhirnya proses interaksi dengan lingkungan itu menjadi lebih baik dan lebih bermakna. Dari proses interaksi itulah anak memperoleh pengalaman fisik dan pengalama mental. Piaget percaya bahwa asal mula tumbuhnyastruktur mental adalah aksi atau tindakan. Artinya, apabila seorang anak melihat, merasakan, atau menggerakkan sesuatu benda, maka ia akan memaksa otaknya untuk membangun program-program mental untuk menguasai atau menanganinya.
2)             Praoperasional (2-7 tahun)
Pada fase ini menurut Piaget ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Anak sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda. Kedua, pada masa ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Melalui pengalamannya anak dapat mengenal dan memberikan objek dengan nama-nama sesuai dengan gagasan yang telah dibentuknya dalam otak. Ketiga, fase praoperasional ini dinamakan juga fase intuisi, sebab masa ini anak mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek sebagai suatu bagian dari individu atau kelasnya.  Keempat, pada masa ini bersifat “animistic” artinya, bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah”hidup” misalkan bulan bergerak, menandakan bahwa ia adalah hidup, demikian juga dengan matahari, gunung, laut, daun-dfaun yang ditiup angin, dan lain sebagainya. Kelima, pada masa ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang”egocentric”. Ia beranggapan bahwa cara pandang orang lain terhadap objek sama seperti dirinya.[13]


3)             Operasional  Konkret (7-11 tahun)
Fase operasional konkret, karena pada masa ini pikiran anak terbatas  pada objek-objek yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Anak berpikir tentang objek-objek atau benda yang ia temukan secara langsung, misalnya tentang beratnya, warnanya, dan strukturnya.  Pada masa ini, selain kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki pada masa sebelumnya, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut dengan satuan langkah berpikir. Kemampuan ini sangat penting artinya bagi anak untuk mengoordinasikan pemikiran suatu ide dalam peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.[14]
4)             Operasianal formal (12-14 tahun ke atas)
Piaget menamakan fase ini sebagai fase”formal operational, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sistematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Operasionalnya tidak lagi terbatas pada semata-mata pada hal-hal yang konkret, akan tetapi dapat juga dilakukan pada operasional lainnya, dengan menggunakan logika yang lebih tinggi tingkatannya, seperti berpikir hipotesis-deduktif, berpikir rasional, abstrak, proposional, mengevaluasi informasi dan lain sebagainya. Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak. Anak sudah mampu memprediksi berbagai macam kemungkinan. Ia dapat membedakan mana yang terjadi dan mana yang seharusnya terjadi.
 Baik tujuan maupun isi kurikulum harus mempertimbangkan taraf perkembangan anak.tanpa pertimbangan psikologi anak, maka dapat dipastikan kuriulum yang disusun tidak akan efektif.[15]
b.             Psikologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas tentang belajar sebagai proses perubahan tingkah laku. Setiap teori itu berpangkal dari pandangan tentang hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan Jhon Locke dan hakikat manusia menurut Leibnitz.
Menurut Jhon Locke, manusia merupakan organisme pasif. Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang hakikat manusia itu, muncul aliran belajar behavioristik-elementeristik.
Berbeda dengan pandangan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber dari pada semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat , manusia bebas untuk membuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz ini kemudian melahirkan aliran belajar kognitif-wholistik.
Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus dan Respons. (S-R). Oleh karena itulah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respons. Menurut aliran behavioristik proses belajar sangat terganrung pada dasarnya rangsangan atau stimulus yang muncul dari luardiri atau yang kita kenal dengan factor lingkungan. Proses belajar dapat dipelajari dari kegiatan yang tampak yang bdapat dilihat. Berbeda dengan aliran behavioristik, aliran kognitif belajar adalah kegiatan mental yang ada dalam diri setiap individu. Kegiatan mental itu memang tidak dpat dilihat secara nyata, akan tetapi menurut aliran ini, sesuatu yang ada dalam diri itulah yang menggerakkan seseorang mencapai perubahan tingkah laku.[16]

C.           Pentingnya Pengembangan Kurikulum
Pentingnya Pengembangan Kurikulum adalah berguna untuk membantu siswa dan guru dalam melakukan proses pembelajaran. Dengan makin berkembangnya sebuah negara maka ilmu yang diajarkan harus dikembangkan terus menerus. Maka dari itu lah pengembangan proses belajar ini dimulai dari pengembangan kurikulum. Tetapi tetap saja kurikulum yang diberikan harus la sesuai dengan kemampuan siswa dalam suatu negara. Jangan lah sampai menaikkan kurikulum tetapi SDM siswanya tidak lah cukup untuk menerima pelajaran itu. Hal ini akan membuat siswa malah menjadi tidak bisa belajar dengan baik dan efektif. Sehingga dapat membuat siswa itu tidak lulus.
Pengembangan kurikulum akan membuat suatu kemajuan. Sehingga tidak lagi tertinggal dalam suatu bidang ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan sangat penting untuk kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari dan juga dengan menaikkan kurikulum maka akan menaikkan mutu kita sebagai SDM. Sehingga menciptakan SDM yang handal dsan bagus bagi negaranya, hal ini akan sangat menguntungkan semua pihak. Pentingnya pengembangan kurikulum dapat di lihat dari beberapa sisi ini. Dengan perluasan dalam pembentukan kurikulum maka akan makin menyempurnakan suatu pembelajaran bagi seluruh pihak.[17]













[1] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 31.
[2]  Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 32.
[3] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 34.
[4] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 35.
[5] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 36.
[6] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 38.
[7] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 38.
[8] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 44.
[9] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 46.
[10] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 45.
[11] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 46.
[12] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 49.
[13] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 51.
[14] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 52.
[15] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 54.
[16] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm. 55.
[17] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar